Tuesday, April 4, 2017

Tidak Ada Anak yang Terlahir Bodoh, Bercermin dari Albert Einstein

Siapa yang tidak tahu nama Albert Einstein? Semua orang tentu pernah mendengar namanya. Seorang fisikawan dunia yang terkenal dengan teori relativitasnya. Apa itu? Mungkin nggak semua orang bisa ngejelasin tentang hal ini ya. Kalau boleh dibilang, yang kebanyakan orang tau, Einstein itu orang terkenal yang pinter banget dan berjasa bagi dunia. Secara ringkas aja nih, teori relativitas Einstein dapat dibuktikan dan dirasakan dalam hidup sehari-hari lho. Misalnya, elektromagnet, warna kuning emas, emas yang tak gampang berkarat, pembangkit listrik tenaga nuklir, dan ledakan supernova. 
Nah, sekarang ini Iberitaupdates nggak akan bahas tentang bukti dari teori relativitas. Tapi kehidupan pribadinya. Nggak ada salahnya kita bercermin dari kehidupan Einstein. Ternyata masa kecilnya nggak seindah cerita dongeng lho. Malah sejak kecil dia akrab dengan yang namanya penolakan. Tapi semoga dari tulisan ini, kamu bisa belajar sesuatu. Cekidot!
Einstein lahir pada 14 Maret 1879. Dia memiliki seorang kakak laki-laki, Jacob Einstein dan seorang adik perempuan bernama Albert Maya. Waktu kecil dan semasa sekolah, Einstein dianggap sebagai anak yang bodoh. Karena sampai usia 3 tahun dia belum bisa bicara, bahkan hingga usia 9 tahun dia masih sulit bicara atau belum bicara dengan lancar. Namun, kemampuan matematika sudah dia miliki sejak kecil. Usia 15 tahun Einstein sudah menguasai kalkulus diferensial dan integral. Yang lebih luar biasa, dia mempelajari itu semua secara otodidak.
Selain itu, karakter Einstein juga sangat tidak biasa. Diduga dia mengidap autis, asperger sindrom, dan disleksia. Dia sangat pemalu dan pendiam, sering sakit-sakitan, pemarah dan suka melempar barang. Dia tidak seperti anak lain seusianya yang suka bermain pedang-pedangan. Einstein lebih senang menyendiri dan menyusun balok hingga 14 tingkat. Karena kondisinya, ibunya membawa Einstein ke dokter tapi menurut dokter, Einstein tidak sakit apa-apa. Diagnosis disleksia, asperger, dan autis kemungkinan dikemukakan orang-orang pada era modern. 
Einstein suka membangkang waktu sekolah, dia hanya mau mengerjakan yang dia sukai. Ia sering membolos pada pelajaran yang tidak ia sukai. Ia tidak lulus saat di bangku SMP, tetapi orang tuanya tidak menyerah dan berusaha mencarikan SMA untuk Einstein. Banyak SMA menolaknya, bahkan ketika akhirnya mendapat SMA, kelakuannya tidak berubah. Dia kembali gagal di SMA. Beruntung, ada sosok sang ibu yang selalu  mendukungnya.
Einstein menikah pada Januari 1903 dengan seorang bernama Mileva Maric. Mereka memiliki seorang putri bernama Lieserl. Namun, keadaannya cukup misterius. Kabarnya, ia lahir dengan kondisi mental yang buruk dan dirawat oleh keluarga Mileva hingga akhirnya meninggal karena infeksi penyakit demam scarlet.
Setelah itu, mereka memiliki 2 orang putra bernama Hans Albert dan Eduard. Pada masa itu Einstein sangat sibuk pergi ke berbagai negara karena urusan akademik. Sehingga hubungannya dengan sang istri kurang begitu baik. Mereka memiliki kontrak dan mengatur bahtera rumah tangga. Seperti Einstein meminta makanannya dikirim ke kamar 3 kali sehari, tempat tidur serta ruang belajarnya harus selalu rapi, tidak boleh meremehkannya di depan anak-anak, dan Mileva harus berhenti bicara kalau ia menyuruhnya diam. Keduanya bercerai tahun 1919. 
Einstein lalu menikah lagi dengan Elsa yang adalah sepupunya. Elsa sangat setia meski Einstein berselingkuh dengan wanita lain.
Einstein meninggal di usia 76 tahun karena pendarahan dalam. Yang menarik, Einstein dikuburkan tidak bersama otaknya. Einstein sebenarnya menginginkan supaya seluruh tubuhnya dikremasi tapi Thomas Harvey, seorang ahli patologi justru mengeluarkan otaknya. Meski bertentangan dengan wasiat tapi Hans Albert (anak Einstein) mengijinkan demi kepentingan pengetahuan. Thomas Harvey dan dia melakukan pembedahan serta meneliti otak Einstein dengan mikroskop. Sudah banyak ilmuwan yang melakukan penelitian terhadap otak Einstein.
Salah satu penelitian mengatakan bahwa pada otak Einstein memiliki lipatan di wilayah abu-abunya, yaitu pikiran sadar, atau dengan lebih sederhana dapat dikatakan semakin tebal materi abu-abu semakin tinggi pula IQ seseorang. Para ilmuwan meyakini, semakin banyak lipatan semakin banyak pula area ekstra untuk proses mental sehingga memungkinkan semakin banyak koneksi antara sel otak dan itu artinya seseorang semakin mampu menyelesaikan persoalan kognitif.
Tidak menyangka kalau seorang Einstein memiliki kisah hidup yang rumit. Tapi tetap kita bisa menarik pelajaran dari itu semua. Bahwa kita jangan pernah cepat menghakimi. Kalau kelak kita memiliki anak, apapun keadaannya kita harus tetap berpikiran positif dan bisa menanamkan dalam diri si anak bahwa dia berharga. Penerimaan sangat penting bagi si anak. Bahwa kita tidak boleh menyerah menghadapi anak-anak kita kelak. Tidak ada anak yang nakal atau bodoh, mereka hanya unik.  

0 comments:

Post a Comment